Minggu, 29 Mei 2016

TRADISI ISLAM NUSANTARA

Tradisi menghias telur saat peringatan Maulid Nabi besar Muhammad SAW menjadi hal yang wajib dilakukan setidaknya di Kota Bontang. Bahkan sebagian masyarakat muslim berpendapat bahwa tak lengkap rasanya jika perayaan maulid tanpa telur hias bahkan lomba menghias telurpun kerap digelar agar perayaan makin semarak.
Pada kegiatan yang merupakan ritual keagamaan dan kebudayaan ini biasanya telur ditusuk dengan batang bambu dan dihias dengan kertas atau pernak-pernik lainnya
.
Lantas apa makna telur maulid?
Di setiap daerah mungkin memiliki tradisi telur Maulid yang berbeda, pertanyaannya apakah telur Maulid sama seperti telur paskah dimana makna telur paskah merupakan simbol musim semi. Di masa silam, di Persia orang biasa saling menghadiahkan telur pada saat perayaan musim semi, yang bagi mereka juga menandakan dimulainya tahun yang baru. Dan ternyata tidak, maknanya justru berbeda karena Telur Maulid adalah telur terdiri atas tiga bagian; kulit, putih telur, dan kuning telur. Kulit telur itu berarti iman, putih telur artinya islam, dan kuning telur artinya ikhsan.
Selain itu, telur dimaknai sebagai anak-anak ayam (bebek/telor). Tusuk bambu melambangkan adanya kelurusan, kekuatan, keteguhan layaknya pohon bambu yang tumbuh menjulang tinggi. Demikianlah Maulid diharapkan memberikan makna kepada umat Islam untuk selalu teguh, lurus dan menjulang tinggi meneladani Sang Nabi Muhammad manusia mulia dan luhur.

Dulu sebagian masyarakat hanya menggunakan telur bebek. Ini dimaksudkan umat Islam mengikuti dan meneladani Sang Nabi layaknya bebek, berbaris rapi, mengikuti panduan sang pemimpin. Rasa syukur menyambut kelahiran Sang Nabi teladan umat Islam diungkapkan dengan rasa gembira, rasa sumringah melalui simbol-simbol aneka warna kertas dan hiasan telurnya
.
barzanji
Kebudayaan Melayu yang bersinggungan dengan Islam menghasilkan akulturasi budaya yang unik di antara keduanya. Beberapa tradisi yang dilakukan di tanah Arab, wilayah asal agama ini, tidak jarang juga merupakan bagian dari tradisi masyarakat Melayu. Salah satu di antaranya adalah pembacaan kitab karya Ja’far Al-Barzanj, yang kemudian biasa disebut barzanji (sebagian orang menyebut “berzanji” atau “berjanji”).
Kata “barzanji” dalam kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai isi bacaan puji-pujian yang berisi riwayat Nabi Muhammad SAW. Jika mendengar kata “barzanji”, orang akan beranggapan bahwa awalan “ber” merupakan imbuhan. Padahal, kata “barzanji” berasal dari kata Al-Barzanj, nama belakang penulis prosa dan puisi terkenal yang mempunyai nama lengkap Ja’far Al-Barzanj.
Syekh Ja’far Al-Barzanj bin Husin bin Abdul Karim lahir di Madinah tahun 1690 dan wafat tahun 1766. Al-Barzanj berasal dari sebuah daerah di Kurdistan, Barzinj. Nama asli kitab karangan yang kemudian lebih dikenal dengan nama Al-barzanji adalah ‘Iqd al-Jawahir yang berarti “kalung permata”. Kitab tersebut disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Kitab Al-Barzanji berisi tentang kehidupan Nabi Muhammad dari masa kanak-kanak hingga diangkat menjadi Rasul, silsilah keturunannya, sifat mulia yang dimilikinya, dan berbagai peristiwa yang dapat menjadi teladan umat Islam.
Kitab karangan Ja’far Al-Barzanj dikenal mulai dari Maroko di belahan bumi sebelah barat hingga Papua di belahan bumi sebelah timur. Sebagai karya yang menceritakan tokoh terbesar dalam Islam, yakni Nabi Muhammad, boleh dikatakan pertunjukan pembacaan karya Ja’far Al-Barzanj ini tidak boleh dipandang sebagai pertunjukan biasa. Bahkan, pembacaan kitab Al-barzanji merupakan tradisi yang acap kali bahkan pasti dilakukan di bulan kelahiran Nabi Muhammad, yaitu Bulan Maulud menurut penanggalan Hijriah.
Sebagai pertunjukan yang didasarkan pada riwayat kehidupan Nabi, tentunya pertunjukan barzanji banyak mengandung nilai-nilai keagamaan. Pada mulanya, kitab karya Ja’far Al-Barzanj khusus dikarang dalam rangka memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Peringatan itu sendiri, waktu kitab tersebut ditulis, belum menjadi tradisi Islam. Baru pada tahun 1207 M, Muzaffar ad-Din di Mosul, Irak, merayakannya dan tradisi ini kemudian menyebar ke berbagai daerah termasuk hingga ke Riau.
Tradisi barzanji telah dilakukan sejak Islam masuk ke Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, masuknya Islam memberi pengaruh besar pada kebudayaan Melayu. Pola perpaduan ini bukan hanya terlihat pada tradisi barzanji, namun juga tradisi Melayu yang lain, semisal tabot, burdah, ghazal, dan lain sebagainya. Tentu saja perpaduan antara budaya Islam dan Melayu berbeda-beda tergantung pada kultur awal masyarakat setempat.
Tradisi barzanji di Riau rutin dilakukan pada peringatan Maulid Nabi Muhammad. Namun, tidak sebatas peringatan itu saja, tradisi barzanji juga digelar pada hari-hari besar Islam yang lain seperti Idul Fitri, Idul Adha, tahun baru Hijriah, dan lain sebagainya. Barzanji juga diselenggarakan dalam kegiatan kemasyarakatan, misalnya pada saat upacara pernikahan, memperingati kelahiran anak, dan sebagainya.
Tradisi barzanji memadukan berbagai kesenian, antara lain seni musik, seni tarik suara, dan keindahan syair kitab Al-Barzanji itu sendiri. Syair-syair dalam kitab Al-Barzanji tersebut dilantunkan dengan lagu-lagu tertentu, dan kadang diiringi alat musik rebana. Setelah pembacaan hikayat Nabi dari kitab karya Ja’far Al-Barzanj dan shalawat kepada beliau, akan dilanjutkan pembacaan syair Sinar Gemala Mestika Alam karya Raja Ali Haji.  

Selikuran

Tradisi malam selikuran adalah tradisi budaya sekaligus religius yang penuh makna. Tentunya hal ini sangat istimewa, karena anda dapat menyaksikan bagaimana antara budaya dan religi saling bersatu dan menguatkan. Bagi anda penyuka kajian agama dan budaya, tentu tidak akan mau ketinggalan peristiwa ini .
Dalam menyemarakkan sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan, masyarakat berlomba-lomba mendapatkan malam kemuliaan (malam Lailatul Qadar), yang dalam al Qur'an disebutkan sebagai malam seribu bulan. Diantara cara untuk mengharap berkah dari turunnya Lailatul Qadar tersebut, masyarakat Jawa biasanya mengadakan sebuah kegiatan dengan mekukan malam "Likuran" (tradisi Selikuran). Merupakan salah satu tradisi luhur yang diwariskan dan tetap lestari hingga kini, seperti di Keraton Surakarta, Yogyakarta, Surakarta, dan masyarakat pedesaan Jawa lainnya. 
Tradisi Selikuran berasal dari bahasa Jawa yakni Selikur (sebutan bilangan 21), yang maknanya kurang lebih "Sing Linuwih le Tafakur", sedang Tafakur artinya orang yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan begitu dalam melakukan ibadah puasa Ramadan kita benar-benar khusuk dan berkualitas, baik dengan memperbanyak sedekah, I'ktikaf di masjid, tadarus Alquran, dan lain-lain. Semua amalan itu merupakan upaya dalam memeroleh kemuliaan yang ada dalam Lailatul Qodar, sebab malam kemuliaan tidak dapat diperoleh kecuali dengan kesiapan rohani yang bersih juga suci.
Tradisi ini sesungguhnya sudah lama muncul seiring dengan masuknya Islam ke Pulau Jawa, yang dilakukan para Wali Songo dalam dakwahnya dengan menggunakan pendekatan budaya, yaitu menggunakan budaya Jawa untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Dalam Bauwarna Adat Tata Cara Jawa karya Bratasiswara menyebutkan, Selikuran merupakan upacara adat peringatan Nuzulul Quran dalam maleman Sriwedari Surakarta yang digelar setiap tanggal 21 Ramadan. Ritual ini diilhami dari Serat Ambya yang menyebutkan tiap tanggal gasal (ganjil) dimulai sejak 21 Ramadan Nabi Muhammad SAW turun dari Gunung Nur, yaitu setelah menerima ayat-ayat suci Alquran (wahyu). 
Selikuran dalam perspektif Islam adalah berawal dari Rasulullah Saw yang beri’tikaf di sepuluh hari terkahir bulan Ramadan, Nabi Saw bersabda, "carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan” (Bukhari dan Muslim). Dan Imam Syafi’i berkata, “Menurut pemahamanku, Nabi Saw menjawab sesuai yang ditanyakan, yaitu ketika ada yang bertanya pada Nabi Saw : “apakah kami mencarinya di malam ini?, beliau menjawab: “carilah di malam tersebut” (Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah). Dari sinilah dapat dipastikan bahwa tradisi Selikuran memang terdapat perpaduan (sinkretisme) nilai-nilai Islam melalui budaya Jawa, sehingga akhirnya tradisi ini dilestarikan oleh kerajaan Islam pada masa itu, dan tetap bertahan hingga hari ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar